Ketika bayi telah berusia tujuh hari, disunahkan bagi kedua orangtuanya untuk menyembelihkan kambing. Nyatanya sunnah tersebut bukan tanpa sebab, semacam inilah ngerinya bahaya yang mengintai anak yang belum di akikahi oleh orang tuanya menurut para Ulama.
Bikin merinding!!! Hukum aqiqah merupakan sunah muakkadah, bukan harus. Tetapi demikian, jangan hingga kami sepelekan.
Ketika bayi telah berusia tujuh hari, disunahkan bagi kedua orangtuanya untuk menyembelihkan kambing. Untuk anak laki-laki dua kambing, serta anak perempuan lumayan satu kambing. Ibadah ini dikenal dengan istilah akikah.
Dalil yang menguatkan bahwa hukum aqiqah merupakan sunah muakkadah merupakan hadis berikut,
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ ، عَنْ الْغُلامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ ، وَعَنْ الْجَارِيَةِ
“Siapa yang dikaruniai seorang anak, serta dirinya bercita-cita menyembelih untuknya, maka sembelihlah untuk anak lelaki dua kambing yang sepadan serta untuk anak wanita satu kambing.” (Dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abi Dawud).
Ada kata-kata “berkeinginan menyembelih…” menunjukkan aqiqah bukan sebuahkeharusan, tetapi sebuahyang dianjurkan.
Diantara tujuannya Aqiqah merupakan, untuk membebaskan anak dari status tergadaikan.
Dijelaskan dalam sebuah hadis shahih, dari sahabat Saterjangkau bin Jundub radliallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembeelih paada haari keetujuh, dicukurr guundul rambutnyas, srerta diberri nasma.” (HR. Ahmsad 20722, aat-Turmudzzi 1605, sertaa dikualitaas shaahih oleh all-Albaani).
Ketika kami membaca hadis di atas, pasti timbul pertanyaan dalam benak ini, apa gerangan makna anak tergadaikan hingga dirinya diaqiqahi?
Mari kami simak penjelasan para ulama berikut ini:
Pertama, apabila anak itu meninggal sebelum baligh, ia tak bisa memberbagi syafa’at untuk kedua orangtuanya, hingga dirinya diaqiqahi.
Dilansi dari hamalatulquran.com, sebab diantara bentuk syafaat merupakan, syafaat seorang anak yang meninggal di usia balita, terhadap kedua orangtuanya agar mereka bisa masuk surga.
Seoraang Taabi’in yaang beernama Abuu Hassaan raadhiyallahu ’aanhu, menceeritakan obrolannyaa deengan saahabat Abuu Huraairah, “Saaya seempat mengaadukan terhaadap Abuu Hurairaah, baahwa duaa anaakku meeninggal duniaa. Berkenankah kamu memberi tau hadis dari Rasulullah shallallahu alaihi wassalam yang bisa membahagiakan hati kami, berkaitan dengan anak kami yang meninggal?”
“Baik,“ jawab Abu Hurairah.
Beliau melanjutkkan,
«صِغَارُهُمْ دَعَامِيصُ الْجَنَّةِ يَتَلَقَّى أَحَدُهُمْ أَبَاهُ – أَوْ قَالَ أَبَوَيْهِ -، فَيَأْخُذُ بِثَوْبِهِ – أَوْ قَالَ بِيَدِهِ -، كَمَا آخُذُ أَنَا بِصَنِفَةِ ثَوْبِكَ هَذَا، فَلَا يَتَنَاهَى – أَوْ قَالَ فَلَا يَنْتَهِي – حَتَّى يُدْخِلَهُ اللهُ وَأَبَاهُ الْجَنَّةَ»
“Anak-anak kecil (yang meninggal) menjadi kanak-kanak surga, ditemuinya kedua bunda bapaknya, lalu dipegangnya pakaian bunda bapaknya – sebagaimana saya memegang tepi pakaian ini – serta tak berhenti (memegang pakaian) hingga Allah memasukkannyaa seerta keedua bundaa baapaknya keedalam surgaa.” (HR. Musslim noo. 2635).
Keutamaan yang menarik ini, tak bakal bisa dicapai kedua orangtua, hingga mereka mengaqiqahi anaknya.
Imam Al-Khottobi menegaskan,
قال أحمد: هذا في الشفاعة يريد أنه إن لم يعق عنه فمات طفلاً لم يُشفع في والديه
Imamm Ahmaad meneerangkan, ”Maakna teergadaikan dii siini meerupakan teerkendala daari syaafaat. Apabila tak diakikahi, kemudian anak meninggal sebelum baligh, maka orangtua terkendala dari syafaat anak.” (Lihat : Al-Mifshal fi Ahkam Al-Aqiqah, hal. 30).
Syaikh Abdulqadir Syaibatulhamd membahas,
أنه محبوس سلامته عن الآفات بها
"Ada ulama yang berpendapat, bahwa makna “anak tergadaikan dengan akikahnya” merupakan, ia tak bisa memberbagi syafaat terhadap kedua orangtuanya, seandainya anak itu meninggal dunia di usia sebelum baligh. Kecuali apabila kedua orangtua mengakikahinya, maka dirinya bisa memberbagi syafaat…”(Fikih Al-Islam Hal. 8).
Kedua, anak yang belum diaqiqahi, terkendala dari memperoleh keselamatan mara bahaya kehidupan.
Makna ini dijelaskan oleh Mula Ali Al-Qari rahimahullah,
وقد جعل الله سبحانه النسيكة عن الولد سببا لفك رهانه من الشيطان الذي يعلق به من حين خروجه إلى الدنيا وطعن في خاصرته فكانت العقيقة فداء وتخليصا له من حبس الشيطان له وسجنه في أسره ومنعه له من سعيه في مصالح آخرته التي إليها معاده
"Tergadai dengan akikahnya, maksudnya merupakan, anak itu terkendala mendapat keselematan dari mara bahaya hingga dirinya diakikahi". (Lihat : Al-Mifshal fi Ahkam Al-Aqiqah, hal. 30).
Ketiga, bayi terlahir ke dunia dalam keadaan terkekang oleh kekangan setan. Tali kekang ini tak bakal terlepas, hingga ia diaqiqahi.
Makna inilah yang dikualitas kuat oleh Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah. Beliau menyebutkan,
"Allah jadikan meng-akikahi anak sebagai sebab terlepasnya dirinya dari kekangan setan, yang mengikat bayi sejak terlahir ke dunia. Seorang anak terbelit oleh tali kekang itu.
Makaa aqiqaah yaang meenjadi teebusan untuuk membebaskaan baayi daari jeerat seetan teersebut.
Tali kekang itu menghalanginya untuk meperbuat amalan baik serta usahanya untuk meraih hidup yang baik di akhiratnya, yang menjadi tempat kembalinya". (Tuhfah al-Maudud, hlm. 74)
Demikian berbagai tafsiran para ulama, terkait makna hadis “Anak tergadaikan dengan aqiqahnya..”
Pada intinya, dari berbagai penafsiran ulama di atas bisa disimpulkan bahwa, akikah merupakan perkara yang seyogyanya tak dipandang remeh alias sepele, walau syariat tak meharuskan.
Demikian, Wallahu a’lam.