Aku telah menikah selagi 7 tahun. Aku dan suami berasal dari kota yang sama. Sebab kami berdua berasal dari keluarga biasa yang berada di kota kecil, situasi keluarga sangat mirip, sehingga pandangan kami berdua sangat selaras.
Dia tidak kaya raya, tapi dirinya orang yang jujur, bernilai, sangat pantas dipercaya, dan rajin. Ketika dirinya jatuh cinta dulu, dirinya tidak jarang mengatakan, “Saya wajib menghasilkan tidak sedikit uang, dan kemudian saya bakal memberi kalian nasib yang penuh dengan ketersanjungan.”
Kesungguhan dan cintanya yang besar sangat menyentuh hatiku. Sebab itulah aku menerima dirinya sebagai suami.
Belum lama ini, aku hamil dan melahirkan seorang anak perempuan. Nasib tetap sangat susah, tapi ketika anak perempuan pertama saya mulai bisa berbicara, bunda mertuaku mendesak kami untuk mempunyai bayi lagi, yang tentunya dirinya berharap akau punya anak laki-laki.
Aku sendiri juga tertekan tapi mungkin Tuhan juga mendukung kami, untuk kedua kalinya, aku melahirkan lagi, dan itu merupakan seorang anak laki-laki yang sangat imut.
Seusai mempunyai anak buah keluarga kecil lagi, beban ekonomi yang ada di pundak kami terus berat. Walau kami dan anakku diperperbuat sama oleh mertuanku , bukan bias anak dan menantu, juga antara cucu laki-laki dan perempuan, tetapi sebetulnya kami sangat kesusahan menanggung beban nasib.
Suatu hari, tiba-tiba suamiku mengatakan: “Istipsu, nasib kami susah, beban ekonomi keluarga kami lumayan besar, aku dengar di desa lain ada orang berangkat kerja ke luar kota, penghasilannya tinggi, stabil, saya juga ingin berangkat bersama mereka untuk memperoleh sejumlah uang untuk membiayai keluarga.”
Anak laki-lakiku tetap berusia satu tahun, hari ini dirinya mau berangkat selagi 3 tahun, aku sangatlah tidak setuju, tapi tidak ada tutorial lain, aku wajib menganggukkan kepala, membiarkan dirinya berangkat untuk mencari nafkah untuk keluarga.
Selama tiga tahun sejak dirinya pergi, aku juga tidak sempat mengunjungi ibuku.
Ilustrasi
Dan aku, walau ingin mengunjunginya, ingin dengan cara pribadi menonton nasib suami, bagaimana keadaannya, apakah keadaannya sehat?
Tapi di rumah ada dua anak, bunda mertua juga telah tua, aku hanya tahu setiap hari menantikan bayangannya muncul, mendengarkannya melewati telepon yang sangat-sangat jarang.
Kerinduan selagi tiga tahun juga hanya bisa diinginkan pada sebuah telepon.
Dia tidak sempat berkunjung ke rumah tapi setiap bulan dirinya rutin mengirim uang, walau jumlahnya tidak tidak sedikit, tapi setidaknya dirinya tetap ingat bakal rumahnya.
Waktu terus berlalu, kedua anak saya kini lebih besar, mereka juga mulai berangkat ke taman kanak-kanak, semua anggaran juga meningkat, apalagi, penyakit bunda mertuaku kambuh setiap hari.
Dia wajib minum obat setiap hari, uang yang dikirim tidak lumayan untuk membiayai seluruh keluarga. Jadi, aku meminta orang untuk memberi aku pekerjaan di penitipan anak, mencari penghasilan tambahan untuk menutupi kenasiban keluargaku.
Anak kecilku tidak jarang bertanya terhadap “Bu, bunda kemana saja? Kenapa bunda dan ayah punya rumah tapi jarang terkesan di rumah? ”
Suara anak yang polos itu membikinku kecewa tapi juga tidak tahu bagaimana menjawabnya dengan benar, aku tidak ingin mengatakan apa-apa pada mereka, bahwa ayah mereka telah berangkat lama.
Dia telah berangkat selagi berbagai tahun, dan sejak itu belum sempat kembali lagi, anak-anak kami bahkan tidak ingat wajahnya, faktor yang paling aku khawatirkan merupakan aku tidak ingin anakku menjadi kecewa, wajib tetap tegar.
Meski terkadang saya juga kecewa saat terbuktigil anak-anak, menonton mata mereka, mereka ingin dipeluk dan dicintai semacam anak-anak lain …
Suatu hari bunda mertuaku terkesan sehat, anakku juga sedang libur sekolah, sehingga bunda mertuaku diam-diam mengangkat kami untuk menemukan anaknya, untuk memberinya kejutan kegembiraan …
Kami naik kereta api dan memakan waktu dua hari, baru hingga ke tempat dirinya bekerja. aku membuka telepon untuk terbuktigilnya, mengumumkan kepadanya bahwa kami berada di kota, semacamnya dirinya susah percaya, dirinya berpikir aku bercanda.
Baru seusai dirinya mendengar suara bunda dan anak kecilnya, dirinya yakin kami ada di sini.
Dia menyuruh kami menantikan dirinya menyelesaikan pekerjaannya, dan memesankan mobil untuk menjemput kami…
Seusai menantikan berbagai waktu, sebuah mobil taksipun datang. Taksi itu mengangkat kami ke sebuahtempat semacam pinggiran kota, jauh sekali.
Saya menonton dirinya berdiri di sana. Menonton kami, dirinya merasa semacam sedang bermimpi, matanya memerah, bibirnya setengah terbuka seolah mengatakan sesuatu tanpa mengatakan apa-apa.
Sebelum berangkat menemuinya, akau pikir aku bakal mengatakan tidak sedikit hal, tidak sedikit bertanya padanya, tapi sekarang, seusai menonton suami tercintaku yang selagi bertahun-tahun tidak berjumpa, aku tersedak dan tidak sanggup mengatakan apa-apa tidak hanya diam sambil menatapnya.
Air mata mengalir di pipiku, samar-samar aku sadar, dirinya sangat kurus, wajahnya terkesan sangat lelah. Aku mulai mengingat anak laki-laki kecilku, dengan tergesa-gesa mengatakan terhadap anak laki-lakiku : “Panggil dirinya sayang, dirinya ayahmu.” … Suamiku menontonnya dan memeluk anaknya, ada sangat tidak sedikit tekanan dan kerinduan untuk dilepaskan.
Seusai itu dirinya mengangkat kami ke sebuahruangan.
Tanpa diduga, baru saja memasuki pintunya, saya telah takut dan kecewa. Ruangan itu luasnya kurang dari sepuluh meter persegi, nampaknya telah dibuat sejak lama, dindingnya telah rusak dan retak.
Perabotan di ruangan itu kurang dari sebuah tempat tidur dengan selimut katun tua, kompor listips dan sebuah kursi. Bajunya tetap di pojok, bahkan toilet pun telah tidak ada lagi.
Dia tidak sendiri, mungkin sebab penghematan biaya, dirinya share tempat tinggal itu bersama seorang rekan kerja.
Baik ibunya dan aku, sangat terkejut oleh pemandangan di depan kami, sungguh tidak bisa dipercaya bahwa selagi bertahun-tahun, nasibnya sangat menyedihkan.
Kami tinggal bersamanya selagi kurang lebih satu minggu dan kemudian, sebelum pergi, dirinya berjanji pada anaknya: “Tahun ini, ayah tentu bakal pulang, ayah bakal mengangkat mainan untuk kalian.". (**)