Kisah Mulyani dari 'Negeri di Atas Awan' Kenalkan Bundengan kepada Siswa Sekolah hingga Australia

Raganya tak lagi muda, tetapi semangatnya begitu berkobar dalam memperjuangkan seni serta kebudayaan. Melewati bundengan yang sebelumnya dikenal adalah alat berteduh penggembala bebek alias kowangan, perempuan 52 tahun bernama Mulyani itu menawarkan ke generasi muda.



Ya, dirinya adalah guru kesenian yang telah berbakti di SMP Negeri 2 Selomerto, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah (Jateng) sejak 21 tahun silam. Bu Mul sapaan akrabnya tak malu membawa kesenian daerah orisinil dari kaki Gunung Sidoro serta Sumbing yang selagi dikenal sebagai 'Negeri di Atas Awan' itu, ke sekolah tempat dirinya membimbing cocoknya pada Juli 2014 lalu.

Dengan sekuat tenaga sebab kecintaan terhadap seni adat orisinil daerah serta ingin membawa pamor bundengan, dirinya lantas mengenalkannya lewat ekstrakulikuler.

"Dan akhirnya 2015 disetujui oleh sekolah, bundengan masuk tahap kurikulum mata pelajaran kesenian," kata dirinya terhadap TribunSolo.com. Melewati tutorial itu, generasi muda dalam faktor ini siswa di sekolah mengenal lebih dekat terhadap alat musik tradisional orisinil daerah yang sebetulnya membawa pesan mendalam.

Apalagi bundengan yang dibangun dari bambu, ijuk, senar sampai ada sebagian dipadukan dengan kaleng, diyakini telah ada sejak beratus-ratus tahun lamanya. Tetapi, dari tahun ke tahun, ada sebagian generasi muda yang apatis jadi enggan mengenal, apalagi memainkan alat musik orisinil daerahnya tersebut.

"Dulu bundengan di main-mainkan sembari angon bebek di sawah," ucap dia.

"Dikenal masyarakat saat ada seniman di lereng Gunung Sumbing, mendiang Pak Barnawi memainkannya puluhan tahun silam," ungkapnya membeberkan. Saat dimainkan, bundengan pun menghasilkan suara yang unik, sebab gabungan antara suara gamelan dengan senar gitar.

"Dari itu, kenapa tak kami kembangkan supaya generasi muda (siswa) tahu alat musik di daerahnya serta mau memainkan," jelasnya.

"Dan akhirnya pengenalan bundengan lewat kurikulum bersi kukuh sampai sekarang," tutur dia.

Membentuk Karakter

Menurut guru yang juga aktif di beberapa sanggar alias yayasan seni itu, bundengan tak hanya mempunyai alunan musik khas. Tetapi lebih dari itu, apabila bundengan mempunyai filosofi yang bisa membentuk karakter generasi muda melewati pembelajaran di sekolah.

"Jadi siswa bisa pelajaran kesenian, ada tari, musik serta seni rupa, nah bundengan ini masuk yang musik," ungkap dia. Adapun filosofi yang terkandung menurut dia, bahwa bundengan yang dibangun dari rangkaian bambu, slumpring (pucuk bambu) serta ijuk, menandakan harmonisasi kenasiban.

Bahkan dalam memainkan musik itu, orang juga wajib duduk bersilah, menjaga pandangan sampai konsentrasi untuk menghasilkan suara yang menawan.

"Dalam nasib ada sinergitas, serta saling membutuhkan satu sama lain supaya menjadi rangkaian yang cantik," ungkap dia.

"Makanya itu, menjadi proses pembentukan karakter generasi muda, apalagi di dalamnya ada lagu Sulasih yang bawa pesan dalam soal kebaapabilan," tuturnya menegaskan. Maka dari itu selagi beberapa tahun masuk di dalam kurikulum di sekolah, ada akibat positif yang dirasakan bagi siswa.

Mengingat kesenian bundengan yang diajarkan langsung di sekolah melewati teori serta praktik langsung, diperuntukkan untuk siswa kelas 7.

"Mereka jadi kenal serta bahkan tak sedikit yang menciptakan lagu Jawa lewat alat musik itu," jelasnya.

"Pada saat ujian praktik kesenian kelas 9, 75 persen siswa mengambil praktik bundengan untuk memainkannya," akunya bangga.

Penghargaan Bundengan

Konsistensi mengenalkan bundengan di sekolah, membawa siswa ke beberapa tempat. Di antaranya tak jarang diundang untuk menampilkan kreasinya memainkan bundengan di hadapan tamu kenegaraan serta pejabat pemerintah pusat saat berkunjung ke Wonosobo.

Tergolong melewati Bu Mul, dirinya dipercaya mengisi agenda kesenian dengan bundengan setiap bulan di suatu tempat wisata paling besar di Wonosobo.

"Umpama para siswa dipercaya mementaskan 100 bundengan di Pemkab Wonosobo serta kemudian acara-acara kalau ada tamu kenegaraan datang," turunnya.

"Sebelumnya kami hanya punya 20 bundengan saja," ungkap dia.

Bahkan pamor bundengan mulai terpancar terang, diketahui tak sedikit pihak lewat jerih parahnya mengenalkan pada generasi muda. Semacam siswa memperoleh juara nasional lewat Lomba Penelitian Siswa Nasional (LPSN) yang membawa bundengan pada 2017 sampai kedatangan peneliti muda dari Australia Rossie Cook pada 2018 lalu.

"Dari itu, kami pentas di Melbourne serta Monash University bersama seniman Lukmanul Chakim serta Sa’id Abdulloh," ungkap dia. Tergolong lanjut memperoleh penghargaan dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sebab proposal miliknya yang memapaparkan soal eksistensi bundengan terhadap anak-anak.

"Sebab anak-anak alias siswa ini menjadi langkah yang strategis untuk melestipsan seni serta budaya," paparnya. Bahkan selagi dirinya menjadi sosok penjaga seni serta adat di 'Negeri di Atas Awan', Bu Mul pernah dua kali berturut-turut memperoleh penghargaan dari Bupati Wonosobo serta Adikarya Wonosobo Award.

"Nah beberapa tahun ini saya terbukti ingin membawa pamor bundengan, supaya menancap di hati generasi muda," harap dia.

"Bahkan kami satu-satunya sekolah di Wonosobo yang membawa bundengan ke kurikulum, sebagai pelestarian kearifan lokal," pungkasnya.

Sumber : http://solo.tribunnews.com